Tentang Melepaskan #2


NENEK

Mungkin ada di antara kalian yang pernah membaca A Chicken Soup for Grandmother's Soul. Di dalam buku itu sempat disebutkan, seorang anak dan seorang nenek memliki musuh yang sama, yaitu Ibu. Aku seringkali tidak setuju dengan pernyataan itu, karena aku sangat menyayangi keduanya, dan mereka berdua saling menyayangi.

Nenek adalah seorang pekerja keras sejak masih sangat muda. Kakek meninggalkan nenek di saat anak bungsunya masih berusia 12 tahun. Nenek akhirnya menjalankan bisnis sendirian. Kisah tentang nenek sangatlah panjang hingga aku tak mampu menuangkannya sendirian. Pada awal pernikahannya dengan kakek, mereka sempat tinggal di tengah kebun, yang masih penuh dengan binatang liar. Bahkan sempat sekali, ada ular sawah yang sedang melilit kayu bagian pondok tempat mereka tinggal.

Aku tinggal di rumah Om dan Tante saat mulai berkuliah di kota sejauh 8 jam menggunakan bus. Nenek kadang datang, dengan jarak rumahnya 16 jam dengan menggunakan bus dan mobil angkutan biasa, namun Nenek pasti diantar oleh salah satu anaknya.

Saat nenek di rumah, nenek memiliki kebiasaan yang sangat sulit untuk kulakukan. 30 menit sebelum adzan berkumandang, Nenek sudah duduk dan sajadahnya sudah tergelar rapi. Entah nenek membaca Al-Qur'an atau berdzikir. Nenek memiliki tasbih yang terbuat dari tanah, yang diberikan oleh Om, anaknya, dan hampir tak pernah lepas dari genggamannya. Nenek akan beberapa kali bertanya tentang apakah adzan sudah berkumandang atau belum padaku. Sebelum shalat duhur, aku akan berada di dapur menyiapkan makan siang (kalau sedang tidak berkuliah atau cepat pulang). Sebelum shalat Ashar, aku mungkin sedang bermain HP atau membaca, atau menonton.

Setiap Nenek ada, aku jarang berada di kamarku di lantai 2, karena aku tak mau Nenek merasa kesepian. Bila Nenek merasa kesepian, Nenek akan memberitahu Om kalau ia ingin pulang ke rumahnya di kampung, dan di sana tidak ada yang betul-betul menjaga Nenek. Aku berusaha sebisaku untuk menjaga Nenek, namun untuk bercerita pada Nenek, aku bukan tipikal banyak bicara. Aku sangat senang melihat Nenek tersenyum, apalagi tertawa. Ah, jadi rindu Nenek.

Hingga suatu hari, Ibu menelpon, katanya Nenek tidak enak badan dan akan dibawa ke Makassar. Hal ini biasa terjadi, namun kali itu, Ibu menambahkan bahwa Nenek tidur terus, dan itu sangat jarang terjadi. Biasanya, kalau Nenek lewat di rumah, Nenek pasti terbangun dan menyapa Ibu, namun tidak untuk hari itu. Setibanya Nenek di rumah Om (saat itu aku sudah mengontrak rumah dengan kakak dan adikku), Tante (istri Om-ku) menelpon dan memintaku datang untuk memeriksa Nenek. Aku akhirnya pergi dengan membawa alat periksa TTV (tanda vital) seperti tensi. Namun setibanya di sana, Nenek ternyata sudah diperiksa darah untuk melihat apakah terdapat antigen COVID-19 atau tidak, dan hasilnya ya, terdapat antigen COVID-19 dalam darah Nenek.

Keluarga setuju untuk tidak memasukkan Nenek di RS. Kami akhirnya hanya melakukan home care. Alhamdulillah, Om memiliki bengkel yang sekarang cukup sukses, sehingga kami tidak kesulitan dalam hal oksigen. Setiap pagi, beberapa sepupuku akan mengantarkan tabung oksigen yang berisi ke rumah, dan mengambil tabung yang telah kosong. Om menyewa tempat tidur medis, membeli tiang infus, dan membeli kursi roda yang bisa dijadikan tempat tidur (karena saturasi oksigen nenek bertambah dan laju napas nenek menurun bila dalam posisi duduk). Anak-anak Nenek juga bergantian membelikan obat-obatan yang dibutuhkan nenek, dengan instruksi dari kakakku yang sedang bertugas di kota asalku. Aku saat itu benar-benar berperan sebagai pemegang tanggung jawab atas Nenek.

3 hari perawatan, Nenek sempat membaik, bahkan sempat menonton TV dan membaca buku. Nenek memang sangat suka membaca buku. Namun meskipun begitu, otak Nenek masih juga mengalami artrofi. Namun setelah itu, Nenek sempat tidak dipasangkan infus karena tangan nenek membengkak. 1 hari tanpa infus membuat keadaan nenek menurun perlahan. 1 hal yang kupelajari dari Nenek adalah sering menyebut, mengingat Allah. Meskipun Nenek sulit berbicara tentang hal lain, saat menyebutkan Laa ilaaha illallah, suara Nenek begitu keras.

Saat Nenek mulai kritis, dengan napas yang mulai berkurang dan saturasi oksigen mulai menurun perlahan, semua orang yang sedang ada di rumah saat itu mulai berkumpul. Tangisan mulai menggangguku. Dalam pikiranku, aku harus profesional dengan tidak menangis. Aku masih sempat menggangti cairan infus Nenek, namun upaya itu sia-sia saja, ruh Nenek akhirnya terlepas dari jasadnya. Nenek pergi dengan begitu tenang, tidak seperti kebanyakan pasien yang kepergiannya kusaksikan langsung ketika masa koas. Alhamdulilllah, ada Om yang menuntun Nenek di sebelah kanan.

Saat aku memberitahu oom bahwa Nenek sudah pergi, Tante, kakak, adik, yang ada saat itu mulai menangis dan mengabari keluarga lainnnya. Aku masih profesional, tentu saja. Melepas sungkup, melepas nasalkanul, hingga tiba saatnya aku melepas infus. Aku menyiapkan kapas alkohol dan mulai menarik kateter infus nenek. Namun, semua sikap profesional yang kubutuhkan saat kelak menjadi dokter, sirna sudah. Aku menangis begitu histeris, meminta maaf kepada Nenek karena belum bisa merawatnya dengan baik, dan akupun terjatuh pingsan.

Nenek kemudian dibawa ke kampungnya, 16 jam dari rumah Om. Aku memaksa ikut, karena dalam pikiranku, aku harus merawat Nenek hingga akhir. Namun sepanjang perjalanan, aku pura-pura tidur sambil mendengarkan lagu dengan headset. meskipun sudah mati, aku tetap pura-pura tertidur agar tidak ada yang berbicara denganku.

Setibanya di rumah Nenek, kami berangkat jam 2 siang dan tiba pukul 4 subuh keesokan harinya, sudah ada begitu banyak orang berkumpul di rumah Nenek. Jasad Nenek dibaringkan di ruangan tamu. Saat melihatnya, aku kembali menangis namun lebih terkontrol. Pagi harinya, Nenek dimandikan dan dishalatkan di rumah lalu di bawah ke pondok dan kembali dishalatkan di masjid pondok sebelum akhirnya dikuburkan. Saat jasad Nenek dimasukkan di liang lahat, aku kembali jatuh dan menangis tersedu-sedu. Hingga akhirnya Nenek betul-betul sendirian di dalam kubur, aku sangat sedih bila memikirkannya.

Nek, aku minta maaf. Semoga kelak aku bisa merawat pasien dengan baik dan bisa mengontrol diriku bila ternyata Allah lebih sayang pada pasien tersebut.

Kepergian Nenek

Kamar, saat semuanya tertidur
Sunday, October 23rd 2021
-pinus pines-

Belum ada Komentar untuk "Tentang Melepaskan #2"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel